Memetakan Lubang Hitam Supermasif Di Alam Semesta

Ilustrasi, Kredit: NASA

 – Sekelompok tim astronom baru-baru ini berhasil membangun sebuah peta pertama alam semesta menurut posisi lubang hitam supermasif yang tersebar di seluruh penjuru ruang angkasa, yang mengungkap struktur berskala besar di alam semesta.

Peta tersebut ternyata juga bisa mengukur sejarah perluasan alam semesta dimulai ketika alam semesta berusia kurang dari tiga miliar tahun. Ini akan membantu meningkatkan pemahaman kita perihal ‘Energi Gelap’, sebuah energi yang tidak diketahui yang mempercepat perluasan alam semesta.

Peta tersebut dibentuk oleh sekelompok astronom dari Sloan Digital Sky Survey (SDSS), sebuah kerja sama internasional dari seluruh dunia yang ulet mengamati langit malam.

Sebagai cuilan dari SDSS Extended Baryon Oscillation Spectroscopic Survey (eBoss), sekelompok astronom ini mengukur posisi quasar, sebuah cakram bahan yang sangat terang yang berputar mengelilingi sebuah lubang hitam supermasif di sentra galaksi yang jauh. Cahaya quasar yang mencapai Bumi kita ketika ini berasal pada ketika alam semesta berusia antara tiga hingga tujuh miliar tahun, jauh sebelum Bumi ada.

Temuan pada pemetaan tersebut mengkonfirmasi model standar kosmologi yang telah dibangun astronom selama 20 tahun terakhir. Dalam model ini, alam semesta mengikuti prediksi Teori Relativitas Umum Einstein namun meliputi komponen yang kita sanggup ukur pengaruhnya tapi kita tidak mengerti apa yang menyebabkannya, si energi gelap.

Selain material-material biasa yang sanggup membentuk bintang dan galaksi, energi gelap ialah komponen lebih banyak didominasi pada ketika ini, dan mempunyai sifat khusus yang mana energi tersebut menimbulkan pengembangan alam semesta menjadi lebih cepat.

Untuk menciptakan peta tersebut, para astronom ini memakai teleskop Sloan untuk mengamati lebih dari 147.000 quasar. Pengamatan ini memberi tim astronom tersebut data jarak tiap-tiap quasar dari Bumi yang mereka gunakan untuk menciptakan peta tiga dimensi daerah quasar-quasar ini berada nantinya.

Tetapi untuk memakai peta tersebut untuk memahami sejarah perluasan alam semesta, para astronom harus melangkah lebih jauh dan mengukur jejak gelombang suara, yang dikenal sebagai osilasi akustik baryon (BAO), yang melaksanakan perjalanan dari alam semesta awal.

Gelombang bunyi ini melesat ketika alam semesta jauh lebih panas dan lebih padat daripada alam semesta yang kita lihat sekarang. Ketika alam semesta berusia 380.000 tahun, kondisi berubah tiba-tiba dan gelombang bunyi menjadi ‘beku’ di tempat. Gelombang beku ini dibiarkan tercetak dalam struktur tiga dimensi alam semesta yang kita lihat sekarang.

Dengan memakai peta baru, ukuran BAO yang diamati sanggup dipakai sebagai ‘standar’ untuk mengukur jarak di alam semesta kita. “Anda mempunyai meter untuk satuan kecil panjang, kilometer atau mil untuk jarak antara kota, tapi kami mempunyai BAO untuk jarak antargalaksi dan quasar dalam kosmologi,” terang Pauline Zarrouk, seorang mahasiswa PhD di Universitas Paris-Saclay, salah satu anggota astronom yang mengukur distribusi BAO.

Hasil ketika ini meliputi rentang waktu di mana alam semesta tidak pernah diamati sebelumnya, mengukur kondisi ketika alam semesta berusia tiga hingga tujuh miliar tahun, lebih dari dua miliar tahun sebelum Bumi terbentuk.

Survei langit ibarat eBOSS ini faktanya memperlihatkan lebih banyak petunjuk perihal sifat sebetulnya alam semesta dan segala bahan di dalamnya. Teleskop masa depan ibarat DESI (Dark Energy Spectroscopic Instrument) dan misi Euclid dari European Space Agency akan melangkah lebih jauh untuk memberi kita sejarah alam semesta yang lebih lengkap.

Penelitian ini telah diterbitkan dalam Pemberitahuan Bulanan Royal Astronomical Society.


Sumber: IFLScience, SDSS.