Anne William Kennedy merupakan seorang wanita cendekiawan asal Inggris yang memeluk Islam di Jalur Gaza yaitu Palestina. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat yang didamping oleh Ketua Asosiasi Sarjana Palestina Dr. Salim Salama. Setelah selesai bersyahadat dan diteruskan doa, Anne dan Salim melakukan konferensi pers di kantor Asosiasi Sarjana Palestina diliput oleh beberapa stasiun televisi. Dia lalu mengganti namanya menjadi Khadijah Hassan.
Anne yakin memeluk Islam setelah dia bertukar pikiran dan berdialog dengan Yusuf Hassan, seorang pemuda asal Khan Yunis, Gaza Selatan. Sebelum memutuskan menjadi muslimah, pemegang gelar sarjana di bidang ekonomi, politik, dan filsafat itu membaca buku-buku tentang Islam. Anne mengaku gembira setelah resmi menjadi muslimah dan bangga bisa berada di Jalur Gaza. Menurut dia kota itu tepat buat ditinggali kaum muslim. Dia masih mengajar agama di sebuah sekolah di Inggris sampai sekarang.
Dalam konferensi pers, Salim Salama mengucapkan selamat kepada Anne yakin menjadi muslimah. Di akhir jumpa pers, dia memberikan sebuah mushaf Alquran dengan terjemahan Inggris kepada muslimah itu.
Kisah Rasulullah Saw saat di Mata Kaum Cendikiawan
Di peradaban modern saat ini, bersamaan dengan meluasnya Islam, gerakan anti agama samawi yang paling sempurna ini oleh kubu ekstrim dan jumud mulai marak. Gerakan Islamphobia ini sangat terorganisir. Tahun 2006, sentimen anti Islam menemukan dimensi barunya dengan aksi pelecehan terhadap kesucian Rasulullah Saw oleh Koran Jyllands-Posten cetakan Denmark. Pada tahun 2011, Terry Jones, pendeta fanatik Amerika mengatakan berencana membakar al-Quran dan ulahnya itu menambahkan deretan gerakan Islamphobia di Barat. Berikutnya disusul dengan pembuatan dan pemutaran film Film Innocence of Muslims yang sangat melecehkan Nabi Muhammad Saw kian membongkar gelombang Islamphobia.
Sementara itu, pribadi agung Rasulullah yang dihiasi dengan akhlak dan sifat-sifat mulianya tetap bersinar cemerlang serta gak ada debu yang mampu menutupinya. Sejarah sudah membuktikan bahwa pelecehan terhadap kesucian Nabi Muhammad hanya dilakukan oleh mereka yang gak berpendidikan serta didorong oleh fanatisme tinggi yang mereka miliki. Abbas Lajevardi, sutradara film dokumentar Iran beberapa waktu kemudian melawat Barat untuk membuat film “Which freedom”.
Abbas Lajevardi pun dilawatannya itu berhasil mewawancarai pendeta Terry Jones dan Kurt Westergaard, karikaturis Denmark meski penjagaan ketat terhadap keduanya diterapkan oleh pasukan keamanan. Lajervardi pada mereka menanyakan, Apakah Anda membaca al-Quran? Keduanya menjawab, Gak! Keduanya gak pernah membaca al-Quran dan tanpa pengetahuan serta informasi keduanya menyerang habis-habisan kitab suci itu dan Nabi Muhammad Saw.
Dalam kesempatan saat ini kami akan membawakan tatapan Goethe, penyair kondang Jerman terkait, Nabi Muhammad Saw. Adakah kata-kata yang lebih mengabadi selain syair atau puisi? Banyak kata yang dimuntahkan filsuf, pemikir atau nabi, tetapi – setelah kitab suci- syair selalu menjadi media komunikasi antargenerasi yang paling efektif. Ini dibuktikan oleh pencipta syair, yang meskipun mereka sudah tiada tetapi karyanya tetap berkata, senandungnya selalu mendengung, kepak sayap syairnya selalu mendarat di telinga pendengarnya.
Van Goethe, penyair Jerman terkemuka abad-18 yang karyanya mengabadi sampai sekarang, berhasil merekam kemunculan Muhammad yang dianggapnya sebagai ‘seorang promotor revolusi sosial yang membawa nilai keadilan dan persaudaraan’. Kata-kata Muhammad begitu bertuah siapa mendengarnya berkata, teman dan lawan akan tunduk membenarkan. Muhammad melebihi semua penyair dan raja yang mendahuluinya. Saat Muhammad mengibarkan panji Quran, Goethe dengan lantang mengakui: “Kitab ini akan tetap memperoleh tempat melampaui semua masa dan punya pengaruh yang kuat. “
Goethe sendiri terpengaruh. Bukan hanya pada 1 orang Muhammad, tapi juga pada sastra timur yang dikaguminya itu. Akhirnya pada 1771 dan 1772, ia berinteraksi langsung pada Alquran dan mulai fasih berkata dengan Islam dan Muhammad. Sampai-sampai sebagian pemikir Jerman menganggapnya betul-betul masuk Islam, karena tulisannya yang banyak memuja nabi umat Islam itu. Gak aneh jika lantas mereka menuduh Goethe ‘punya hubungan khusus’, lebih dari sekadar hubungan pribadi dengan Muhammad.
Terbukti pada tahun yang sama, Alquran berhasil diterjemahkan oleh Frederich Megerlin ke dalam bahasa Jerman dan untuk pertama kalinya terbit. Reaksinya begitu cepat, salah satu halaman edisi ‘kritikus sastra Frankfurt’ memuat kritik tematis terhadap pusat penerjemahan Alquran itu. Dilihat dari gaya bahasa dan cara pengungkapannya, penulis yang protes itu ternyata Goethe.
Protes gencar itu membuktikan, Goethe secara eksplisit mengikrarkan diri pada kekecewaannya terhadap penerjemahan yang serampangan itu. Barangkali karena Goethe punya persepsi lain tentang Alquran, jauh lebih banyak dari gambaran yang diungkapkan penerjemah itu. Terlebih lagi Megerlin menulis tentang Alquran dan Nabi gak dengan sebenarnya. Goethe begitu intens mempelajari bahasa dan sastra Arab, baik yang tertulis dalam antologi karya sastranya atau buku ilmiah yang ia tulis. Salah satu bukunya West-Ostlicher Divan yang bermakna Sastra Timur Oleh Pengarang Barat, sebagai contoh. Selain ditulis dalam bahasa Jerman, juga ditulis teks Arabnya Al-Diwan Al-Sharq Li Al-Mu’allif Al-Gharbi.
Demikian juga dengan judul puisi yang ia tulis, hampir semuanya berbahasa Arab. Maka gak heran hampir di setiap karya Goethe akan ditemukan judul seperti: Moganni Nameh yang bermakna Al-Mughanni (Si Penyanyi), Uschk Name yang bermakna kitab al-‘Usyq (bab cinta), Tefkir Nameh yang asalnya kitab al-Tafkir (bab perenungan), dan ratusan judul yang berbau Arab lainnya.