Fenomena nikah siri kembali mencuat. Sejumlah lebih lagi menggunakan teknologi untuk menawarkan jasa pernikahan siri, seperti nikah siri online. Praktik nikah siri menjadi kepedulian serius Kementerian Agama (Kemenag). Bagaimana sebenarnya Islam menatap nikah siri?
Menikah dengan cara siri (rahasia) bukanlah tradisi umat Islam. Syariat memerintahkan agar momen pernikahan yang sakral tersebut dipublikasikan menuju tengah-tengah khalayak ramai. Sabda Rasulullah SAW, “Rahasiakanlah khitbah (lamaran) umumkanlah pernikahan. ” (HR Ibnu Hibban dan juga Thabrani). Dalam hadis yg lain jua disebutkan, “Umumkanlah pernikahan, selenggarakanlah di masjid, dan juga bunyikanlah tetabuhan. ” (HR Ahmad dan juga Tirmidzi).
Ketika masa Rasulullah SAW, tidak dikenal istilah nikah siri ini. Kalau definisi nikah siri yang beredar di masyarakat ialah menikah tanpa mencatatkan diri menuju KUA maka nikah ini tentu saja sah dengan cara agama. Istilah nikah ini, yaitu nikah di bawah tangan. Hal tersebut telah diakui keabsahannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri kalau terpenuhi seluruh syarat dan juga rukunnya.
Pencatatan nikah baru diawali semenjak tahun 1974 dengan keluarnya UU Nomor satu Tahun 1974. Dalam Pasal dua Ayat (dua) disebutkan, “Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. “
Waktu tersebut para ulama Indonesia sepakat untuk mencatatkan pernikahan dengan cara formal dalam pencatatan negara. Selaku negara maju, minimal mesti ada tiga pencatatan, yaitu kelahiran, pernikahan, dan juga kematian. Namun, negara tidak memungkiri keabsahan pernikahan yang tidak dicatatkan melalui KUA selama pernikahan tersebut dipandang sah dengan cara hukum agama.
Perihal ini diterangkan dalam Pasal dua Ayat (dua) yang dirancang dengan cara generik dengan Pasal dua Ayat (satu). Bunyinya, “Perkawinan ialah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan juga kepercayaannya tersebut. ” Jadi, keabsahan suatu pernikahan tidak ada hubungannya dengan pencatatan nikah.
Definisi lainnya dari nikah siri, yaitu menikah tanpa wali. Satu orang perempuan dinikahkan oleh seseorang yang memosisikan dirinya selaku wali hakim tanpa sepengetahuan wali perempuan. Kasus ini marak terjadi. Satu orang ayah tidak sadar bahwa memang putrinya telah menikah dengan manusia yg lain tanpa sepengetahuannya.
Jumhur (mayoritas) ulama mazhab tetap mensyaratkan adanya wali selaku rukun pernikahan. Tanpa adanya wali, pernikahan dianggap tidak sah. Perihal ini berdalil dari hadis Abu Burdah RA yang menyebutkan, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali. ” (HR Abu Daud dan juga Tirmidzi).
Ulama lainnya, seperti Imam Abu Hanifah, memang tidak mensyaratkan wali selaku rukun nikah. Pendapat ini-lah yang banyak dipelintir beberapa bagian manusia untuk melegalkan nikah siri bahwa memang menikah tanpa wali ialah sah. Namun butuh dimengerti, pernikahan yang dimaksudkan oleh Abu Hanifah, yaitu perempuan yang telah janda ataupun mempunyai kuasa atas dirinya. Contohnya, perempuan tersebut tidak memiliki wali (ayah, kakak, kakek, dan juga sebagainya) dan juga dia memiliki kuasa atas dirinya tersebut.
Perempuan dalam posisi tersebut, menurut Abu Hanifah, tidak disayaratkan wali dalam pernikahannya. Menurutnya, kehadiran wali dalam posisi perempuan tersebut tidaklah mutlak dan juga tidak butuh keizinan wali untuk menikahkan. Adapun perempuan yang masih dalam kuasa walinya, seperti gadis perawan dan juga remaja putri yang masih dalam tanggung jawab manusia tuanya, tentulah Abu Hanifah hendak sepakat dengan pendapat jumhur.
Abu Hanifah berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, “Wanita yang telah tidak bersuami tersebut (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. ” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan juga Ibnu Majah). Hadis ini mengisyaratkan bahwa memang perempuan janda memiliki kuasa atas dirinya dibanding walinya. Syaratnya, perempuan ini menikah dengan laki-laki yang sekufu pula dengan dirinya.
Hadis ini men-jadi perdebatan sengit di antara para pakar hadis. Ulama hadis Muhammad bin Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar menyatakan, hadis tersebut di dipersoalkan kesahihan sanadnya.
Sufyan al-Thawri dan juga Shu’bah bin al-Hajjaj menyatakan hadis tersebuy mursal. Terdapat satu orang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani, satu orang yang tsiqah namun mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Baihaqi seluruh perawinya, yaitu tsiqah (tepercaya), namun cuma mawquf kepada Abu Hurairah.
Pakar ilmu fikih jebolan Al Azhar Mesir, Syekh Abdurrahman al-Jaziri, menyatakan, ke-2 pendapat tersebut dapat dipakai. Menurutnya, Islam tidak kaku terhadap suatu hukum kalau berbenturan dengan kondisi dan juga situasi. Di sinilah tampak kesyumulan dan juga kesesuaian Islam untuk menuntaskan problem masyarakat kepada tiap masa dan juga area sehingga tidak ada satu orang pun yang teraniaya.
Menurutnya, ke-2 pendapat ini sama bagusnya, dapat diterima akal, dan juga dapat diamalkan. Dia memberikan jalan tengah. Kesatu, ikuti-lah pendapat jumhur. Namun, kalau terhalang sebab alasan yang syar’i, tidak ada salahnya menggunakan pendapat Abu Hanifah. Dan juga, hal tersebut bukanlah tindakan yang tercela.
Jadi jelaslah, menikah tanpa wali yang dimaksudkan Abu Hanifah tidak dapat dijadikan dalil melegalisir praktik nikah siri yang kali ini meresahkan umat. Pembolehan Abu Hanifah berangkat dari zuruf (alasan-alasan) tertentu. Abu Hanifah tidak mau manusia yang mau menjalankan syariat men-jadi terbebani. Allahu a’lam. n ed: hafidz muftisany.
Cuma saja, pernikahan semacam ini amat tidak dianjurkan, sebab sejumlah alasan:
- Pemerintah telah menetapkan aturan agar seluruh bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita selaku kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan juga pemimpin kalian. ” (QS. An-Nisa: 59). Sementara kita seluruh paham, pencatatan nikah sama satu kali tidak bertentangan dengan aturan Islam ataupun hukum Allah.
- Pencatatan di KUA hendak makin mengikat kuat ke-2 belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), seperti mana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk makin merealisasikan perihal ini. Dimana pasangan suami-istri sesudah akad nikah hendak lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan juga maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan hendak makin memperlihatkan tanggung jawabnya selaku suami ataupun selaku istri. - Pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak perempuan.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada kepada pihak suami. Sementara pihak istri cuma dapat melaksanakan gugat cerai menuju suami ataupun menuju pengadilan. Yang men-jadi problem, terkadang sejumlah suami menzhalimi bininya berlebihan, namun di pihak yg lain dia sama satu kali tidak mau menceraikan bininya. Dia cuma mau merusak bininya. Sementara sang istri tidak bisa jadi mengajukan gugat cerai menuju pengadilan agama, sebab dengan cara administrasi tidak memenuhi persyaratan. - Mempermudah pengurusan administrasi negara yang lainnya.Selaku warga negera yang baik, kita butuh tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Kamu bisa jadi seluruh tersebut terpenuhi, selama status Kamu masih me-ngikuti manusia tua dan juga bukanlah KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Kamu. Bisa jadi anak Kamu hendak menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki akta kelahiran. Di ketika begitulah, seakan-akan anak Kamu tidak diakui selaku warga negara yang sempurna. Dan juga kita amat yakin, Kamu tidak menginginkan perihal ini terjadi kepada keluarga Kamu. Allahu a’lam.