Hukum Bicara Ketika Jima’. Bolehkah?

Dalam banyak sekali literatur para dokter jago seksologi sangat menganjurkan untuk bercakap Hukum Bicara Saat Jima’. Bolehkah?
Ilustrasi : Hukum Bicara Saat Jima’
 

Hukum Bicara Saat Jima’. Bolehkah?

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Hukum Bicara Saat Jima’. Bolehkah?
Dalam banyak sekali literatur para dokter jago seksologi sangat menganjurkan untuk bercakap-cakap dengan pasangan ketika melaksanakan kekerabatan suami-istri (jima’). Hal ini dianggap akan menambah gairah dalam suasana yang sangat intim.

Bertolak dari segala pendapat para jago seksologi, apakah hal ini tidak bertentangan dalam syariat islam?. Sementara bagi sebagian pendapat menyebutkan adanya larangan berbicara ketika jima’ dilakukan oleh pasangan suami istri.

Mitos Tentang Jima’ Yang Berkembang Di Masyarakat

Sebuah mitos yang justru berkembang di tengah-tengah sebagian masyarakat kita, ialah adanya larangan bicara ketika jima’. Perbuatan ini dipercayai akan mengakibatkan kebisuan pada anak yang dihasilkan dari kekerabatan ini.

Benarkah mitos ini?

Ternyata memang terdapat dalam sebuah kitab yang dianut oleh golongan Syi’ah yang menyebutkan hal demikian. Dalam kitab Al Kaafi (BUKAN Surah Al-Kahfi,-pen), literatur syi’ah yang paling dipercaya oleh pengikutnya, menyebutkan problem ini. Bahwa bersuara dan berbicara ketika jima’ atau ketika melaksanakan kekerabatan suami istri itu bagi kalangan syi’ah sangat dilarang. Perbuat demikian itu mereka percayai akan menciptakan anaknya kelak menjadi bisu.

Berikut bunyi kalimat yang terdapat dalam kitab Al Kaafi tersebut :

إتقوا الكلام عند ملتقى الختانين فإنه يورث الخرس

“Jauhilah berbicara pada ketika bertemunya dua khitan (jima’), alasannya hal itu akan mewariskan kebisuan (pada anak).” [Kitab Al Kaafi 5/505].

Doktrin menyerupai ini tidak sanggup dijadikan dasar sama sekali. Sebab begitu banyak pasangan suami istri yang bersuara dan berbicara ketika jima’ toh anak yang lahir tidak menjadi bisu. Inilah bukti kitab Al Kaafi milik golongan Syi’ah bertentang dengan syariat islam bahkan dengan ilmu pengetahuan yang berkembang ketika ini.

Pandangan Ahlus Sunnah Tentang Berbicara Saat Jima’

Dalam kitab fiqih Ahlus Sunnah, diperbolehkan bagi pasangan suami istri untuk mengeluarkan bunyi (bersuara) atau ngobrol (bicara) ketika jima’ dilakukan. Sepanjang bunyi yang dikeluarkan tidak terdengar apalagi hingga mengganggu orang lain.

Imam As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur mencantumkan riwayat bahwa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penulis wahyu, Muawiyah bin Abi Sufyan, pernah menjima’ istrinya. Tiba-tiba istrinya itu mengeluarkan bunyi desahan dan rintihan yang penuh gairah hingga ia sendiri aib pada suaminya. Akan tetapi Muawiyah bin Abi Sufyan justru meluruskannya, “Tidak masalah, Demi Allah, yang paling menarik dari kalian ialah desahan nafas dan rintihan kalian.”

Begitu juga dengan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia pernah ditanya perihal aturan desahan dan rintihan ketika jima’ (hubungan suami istri) menyerupai ini. Kemudian dia menjawab, “Jika kalian berjima’ dengan istri, lakukanlah sesuka kalian.”

Itulah pendapat dari kalangan Ahlus Sunnah perihal aturan mengeluarkan bunyi atau bicara ketika jima’. Dan manakala ada di antara kalangan ahlus sunnah yang menganjurkan biar tidak bersuara atau bicara ketika jima’, maka hal itu hanya sekedar anjuran. Sedangkan pendapat yang paling berpengaruh ialah yang membolehkan bicara ketika jima’.

Wallahu a’lam

Demikian risalah fiqih perihal aturan berbicara ketika jima’ atau ketika bekerjasama suami istri, yang kami beri judul “Hukum Bicara Saat Jima’”. Semoga sanggup bermanfaat bagi kita sekalian dan semoga sanggup menambah khazanah pengetahuan kita perihal asal larangan berbicara ketika jima’ yang datangnya dari literautr kitab para kaum syiah. Dan hanya kepada Allah Ta’ala datangnya segala kebenaran.

Referensi : Webmuslimah.com
Label : Fiqih, Keluarga, aturan bicara ketika jima’
Deskripsi : Banyak dokter jago seksologi sangat menganjurkan untuk bercakap-cakap dengan pasangan ketika melaksanakan kekerabatan suami-istri. Hal ini dianggap akan menambah gairah dalam suasana yang sangat intim. Sementara bagi sebagian pendapat menyebutkan adanya larangan berbicara ketika jima’. Bagaimana pandangan Ahlus Sunnah dalam menanggapi problem ini?