Hukum Berafiliasi Suami Istri Sesudah Haid Berhenti, Namun Belum Mandi Wajib (Bersuci)

Fiqih150 Dilihat

 Hukum Berhubungan Suami Istri sehabis Haid Berhenti Hukum Berhubungan Suami Istri sehabis Haid Berhenti, Namun Belum Mandi Wajib (Bersuci)
Hukum Berhubungan Suami-Istri sehabis Haid Berhenti, Namun Belum Mandi Wajib (Bersuci) – Ilustrasi

Hukum Berhubungan Suami Istri sehabis Haid Berhenti, Namun Belum Mandi Wajib (Bersuci)

Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh
LangitALLAH.com Islam telah menjadi agama yang paling benar dan diridhai Allah subhanahu wa Ta’ala. Salah satu ciri kebenaran Islam ini yaitu anutan yang ada di dalam Islam. Setiap yang kita lakukan mulai tidur, bangun, beraktifitas hingga tidur kembali, semua telah diatur oleh anutan Islam supaya sanggup bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk ibadah mandi. Mandi junub atau mandi wajib atau juga sering disebut mandi besar yaitu termasuk salah satu ibadah yang diwajibkan kepada pasangan suami Istri yang telah bekerjasama tubuh maupun sehabis mengalami mimpi basah. Bahkan bagi yang belum mempunyai pasangan hidup atau seorang jomblo, dalam kondisi tertentu. Mandi junub berbeda dengan mandi biasa, mulai dari niat maupun tata caranya, semuanya berbeda. Nyatanya, dalam kehidupan kita sehari-hari tak jarang kita temui orang yang sedang mendiskusikan perihal tata cara mandi Junub sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perkara Junub dan Tata Cara Mandi Junub serta aturan yang mengikutinya merupakan perkara yang kompleks namun wajib untuk diketahui dan difahami oleh setiap muslim yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, perkara Junub akan terus diulas dan dibahas oleh lantaran pentingnya dan masih banyaknya umat muslim yang awam dengan junub dan tata cara mandi junub yang benar sesuai yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebuah pertanyaan muncul, apa aturan ketika aturan bekerjasama suami-istri sehabis haid berhenti, namun belum melaksanakan mandi wajib atau mandi junub (bersuci)?. Pertanyaan ini terlihat sepele namun substansinya membutuhkan tanggapan yang sempurna sesuai dalil agama Islam.

Pengertian Mandi Junub atau Mandi Wajib

Dalam kamus Wikipedia, Mandi besar atau mandi wajib (Arab: ?????, translit. al-gusl?) yaitu mandi atau menuangkan air ke seluruh tubuh dengan tata cara tertentu untuk menghilangkan hadats besar.[1] Hal itu yaitu pengertian dalam syariat Islam. Arti al-gusl secara etimologi yaitu menuangkan air pada sesuatu.

Secara umum pengertian Mandi Junub, mandi besar atau Mandi Wajib yaitu mandi dengan memakai air suci dan higienis (air muthlaq) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tujuan mandi junub atau mandi wajib atau juga kadang disebut mandi besar yaitu untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melaksanakan ibadah sholat atau ibadah yang lainnya yang disyariatkan.

Beberapa alasannya yaitu atau alasan seorang muslim Harus Mandi Junub / Mandi Besar / Mandi Wajib, diantaranya yaitu alasannya yaitu :

1. Mengeluarkan air mani baik disengaja maupun tidak sengaja
2. Melakukan relasi seks atau relasi intim atau bersetubuh
3. Selesai haid atau menstruasi (bagi wanita)
4. Melahirkan (wiladah) dan pasca melahirkan (nifas) bagi wanita
5. Meninggal dunia yang bukan mati syahid.

Berdasarkan beberapa alasannya yaitu yang disebutkan di atas, maka bagi siapa saja yang mengalami hal-hal yang disebutkan maka muslim tersebut berarti telah mendapat hadas besar yang harus dibersihkan. Sehingga bagi mereka yang mengalaminya, diwajibkan untuk segera disucikan dengan mandi junub atau wajib.

Dalam beberapa perkara sejenis, muncul sebuah pertanyaan yang terkait dengan Mandi Junub atau mandi wajib ini. Apakah ibadah seseorang akan tertolak jika bekerjasama suami-istri sehabis haid berhenti, namun belum mandi wajib? Apakah ada dalil yang sanggup menjelaskan aturan wacana ini?

Maka ketahuilah, melaksanakan relasi dengan istri yang sedang haid di daerah keluarnya darah haid merupakan perbuatan yang haram. Berdasarkan firman Allah di dalam Al Qur’an :

“Mereka bertanya kepadamu wacana haid. Katakanlah, ‘Haid itu kotoran. Karena itu, jauhilah perempuan di daerah keluarnya darah haid (kemaluan). Janganlah kalian mendekatinya (jima’) hingga beliau suci. Apabila beliau (istrimu) telah mandi maka datangilah beliau dari daerah sesuai dengan yang Allah perintahkan ….’ ” [Q.S. Al-Baqarah: 222]

Berdasarkan ayat di atas, maka barang siapa yang melakukannya maka beliau wajib bertaubat dan membayar kafarah berupa sedekah dengan satu atau setengah dinar. Hal ini menurut hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, yang dinilai sahih oleh Al-Albani; dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa orang yang mendatangi istrinya ketika haid berinfak satu dinar atau setengahnya.

Sedangkan perkara jumlah dinar yang niscaya untuk dikeluarkan, apakah satu ataukah setengah dinar, ini sanggup dilihat dari masa haid ketika orang ini melaksanakan hubungan. Ketika seseorang melaksanakan relasi di dikala darah yang keluar masih deras atau banyak maka beliau berinfak satu dinar. Akan tetapi, bila relasi itu terjadi ketika darah yang keluar sedikit atau tidak terlalu banyak maka beliau berinfak setengah dinar.

Sementara pertanyaan yang disebutkan wacana orang yang melaksanakan relasi suami istri sehabis putus darah haid, namun belum mandi junub atau mandi wajib, pendapat yang paling besar lengan berkuasa yaitu hukumnya terlarang dan pelakunya berdosa. Pendapat ini menurut firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas, yang artinya, “… .Janganlah kalian mendekatinya (jima’) hingga beliau suci. Apabila beliau (istrimu) telah mandi maka datangilah beliau dari daerah sesuai dengan yang Allah perintahkan ….’ ” [Q.S. Al-Baqarah: 222]

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengizinkan seseorang muslim untuk melaksanakan relasi dengan istri yang sedang haid, hingga beliau higienis dan melaksanakan mandi junub atau mandi wajib. Namun bila hal itu terjadi, maka pelakunya harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian membayar kafarah dengan ber-sedekah sebanyak setengah dinar atau satu dinar.

Sedangkan nilai satu dinar menurut selesai dari Fatwa islam pada sesi tanya jawab di bawah bimbingan Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Munajjid menyebutkan 1 Dinar senilai dengan 4,25 gram emas. Wallahu a’lam bishshawab.

Sahabat LangitALLAH.com, demikianlah artikel “Hukum Berhubungan Suami-Istri sehabis Haid Berhenti, Namun Belum Mandi Wajib (Bersuci)”. Kami berharap semoga artikel ini bermanfaat bagi sobat sekalian. Dan demi kelangsungan ibadah dakwah, tentunya kami sangat berharap tugas kita semua supaya jangan hanya kita saja yang memahami ilmu dan anutan Islam ini. Mari kita bagikan dan teruskan ilmu ini kepada sobat seiman kita yang mungkin saja masih banyak yang belum memahami ilmu ini. Semoga dengan perjuangan kecil dan ringan ini sanggup menjadi sumber pahala Jariyah bagi kita semua.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al Qur’an pada Surah Al Ashr :

“Demi Masa (1); Sesungguhnya Manusia itu benar-benar dalam kerugian, (2); kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (3).” [QS. Al Ashr : 1-3].

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala membalasnya dengan pahala Jariyah serta kita tidak tergolong ke dalam golongan insan yang merugi, sebagaimana ayat 2 dalam surah Al Ashr di atas. Wallahu A’lam Bishshawab. [Tim Redaksi LangitAllah.com]