Hadits Shahih Wacana Sholat Sunnah Tarawih 20,23 Dan 11 Rakaat

Hadits Shahih Tentang Sholat Sunnah tarawih – Umat islam pada umumnya dalam melaksanakan shalat sunat tarawih itu biasanya baik dikalangan bawah umur ataupun cukup umur cuma malam pertama hingga malam ketujuh,padahal dengan pahala tersebut bisa lebih menyebabkan kesempurnaan puasa kita dan pelaksanaan tarawih itu bukan cuma hingga disitu, tapi hingga tutupnya bulan ramadhan.Nah oleh alasannya itu supaya kita lebih mengutamakan shalat tarawih saya disini akan menjelaskan dalil-dalilnya dengan hadits shahih wacana aturan dan pahalanya shalat tersebut.

Shalat tarawih ialah merupakan amalan shalat sunat yang khusus dilaksanakannya pada bulan ramadhan luar dari pada ramadhan tidak ada yang dinamakan shalat tarawih. Mengapa shalat itu dinamakan shalat tarawih? Untuk jawabannya  alasannya setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah diharuskan duduk sejenak sambil berdoa untuk istirahat.Tapi walaupun sunat kita harus benar-benar disiplin dalam melaksanakannya alasannya dalam pelaksanaan shalat wajib dan sunat itu sama tidak ada perbedaannya dalam melaksanakan syarat dan rukun juga pembatalanya.

Adapun jumlah bilangan shalat tarawih itu memang banyak perbedaan diataranya ada yang menyampaikan 8 rakaat ditambah witir 3 jadi jumlah 11 rakaat, ada juga yang menyampaikan 20 rakaat di tambah witir 3 rakaat jadi 23 rakaat, nah untuk mengatasi permasalahan ibarat itu maka kami di sini akan menyebarkan Ilmu mengenai hadits shahih shalat tarawih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam ibarat dibawah ini.

Hadits Shahih Tentang Sholat Sunnah tarawih Hadits Shahih Tentang Sholat Sunnah Tarawih 20,23 Dan 11 Rakaat

Keutamaan Pertama:

Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa yang telah kemudian bagi siapa saja yang melaksanakan sholat Tarawih dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dan ridho Allah semata. Bukan alasannya riya’ dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar amal kebaikannya oleh orang lain.Hal ini berdasarkan hadits SHOHIH berikut ini:

  عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم : « مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

» Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melaksanakan qiyam Ramadhan (yakni sholat malam pada bulan zromadhon) alasannya kepercayaan dan mengharap pahala dan ridho Allah, maka dosa-dosanya yang telah kemudian akan diampuni.” (HR. al-Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Imam Nawawi rahimahullah berbicara : “Yang dimaksud qiyam Ramadhan merupakan sholat Tarawih.”Ibnul Mundzir rahimahullah membuktikan berdasarkan nash (tekstual) hadits ini bahwa yg dimaksud “pengampunan pada dosa-dosa yg sudah dulu dalam hadits ini ialah bisa meliputi dosa besar dan dosa kecil.

Sedangkan imam An Nawawi memberikan bahwa yg dimaksudkan pengampunan dosa di sini yakni husus buat dosa-dosa kecil saja. Dikarenakan dosa-dosa besar tidaklah diampuni dengan menjalankan amal-amal Sholih, akan tetapi cuma dengan jalankan Taubah Nasuha, merupakan taubah yang sempurna.

Keutamaan Ke-2 :
Barangsiapa melaksanakan sholat Tarawih berjamaah dengan imam hingga selesai, sehingga akan dicatat baginya pahala ibarat orang yg melaksanakan qiyamul lail semalam penuh.Perihal ini berdasarkan Hadits Shohih berikut ini :

Dari Abu Dzar rdhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam sempat menghimpun keluarga dan para sahabatnya. Dulu ia bersabda :

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (Tarawih) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyamul lail satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no.1605, At-Tirmidzi no.806, Ibnu Majah no.1327, dan selainnya. Dan hadits ini dinyatakan SHOHIH oleh At-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ Al-Gholil no. 447). Hadits ini sekaligus juga memperlihatkan anjuran, biar melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dan mengikuti imam hingga selesai.

Ada sebagian orang berpendapat,shalat Tarawih berjama’ah gres dikerjakan pada zaman khalifah Umar binKhaththab. Benarkah demikian? Mari kita tengok sejarah melalui hadits-hadits serta riwayat-riwayat shahih apa yang terjadi pada zaman Nabi dan bagaimana yang terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin.

SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau  menuturkan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yg dipimpin oleh sohib Ubay Badan Intelijen Negara Ka’ab.

Berikut ini yakni dalil-dalil yang memaparkan, bahwa shalat tarawih dengan cara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dilakukan dengan cara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.

1. Hadits Nu’man Badan Intelijen Negara Basyir, Radhiyallahu anhu : Ia berbicara : “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 bln Ramadhan, hingga sepertiga tengah malam. Setelah Itu kami shalat lagi dengan ia pada malam 25 Ramadhan (berhenti) hingga separoh tengah malam. Seterusnya dia memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan hingga kami menyangka tak bakal pernah memperoleh sahur.” [HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. Shahih]

2. Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi Radhiyallahu anhu berkata: “Pada suatu malam, di malam Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, kemudian ia melihat sekumpulan orang disebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau kemudian bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Seseorang menjawab, ‘Ya Rasulullah, bekerjsama mereka itu ialah orang-orang yang tidak membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab hebat membaca Al Qur’an, maka mereka shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay.’ Beliau kemudian bersabda,
قَدْ أَحْسَنُوْا وَقَدْ أَصَابُوْا ‘Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.’ Beliau tidak membencinya.”[HR Abu Daud dan Al Baihaqi, ia berkata: Mursal hasan. Syaikh Al Albani berkata, “Telah diriwayatkan secara mursal dari jalan lain dari Abu Hurairah,dengan sanad yang tidak bermasalah (bisa diterima).”. [Shalat At Tarawih, 9]

SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN KHULAFA’UR RASYIDIN

1. Abdurrahman Badan Intelijen Negara Abdul Qari’ bicara, “Saya ke luar ke masjid dengan Umar Radhiyallahu anhu pada bln Ramadhan. Disaat itu beberapa orang berpencaran; ada yg shalat sendirian, dan ada yg shalat dgn jama’ah yg kecil(kurang dari sepuluh orang). Umar berbicara, ‘Demi Allah, saya melihat(berpandangan),bila mereka saya satukan di belakang satu imam, niscaya lebih penting,’ Setelah Itu dirinya bertekad dan menghimpun mereka dibawah pimpinan Ubay Badan Intelijen Negara Ka’ab. Setelah Itu saya ke luar lagi dgn dirinya terhadap tengah malam lain. Diwaktu itu beberapa orang sedang shalat di belakang imam mereka. Sehingga Umar Radhiyallahu anhu berbicara,’Ini yakni sebaik-baik aspek baru.’ & shalat simpulan tengah malam kelak lebih mutlak dari shalat yg mereka kerjakan kini.” Sejarah ini berjalan terhadap th 14H.

2. Saib Badan Intelijen Negara Yazid rahimahullah (Meninggal 91 H) berkata, “Umar Radhiyallahu anhu memerintah Ubay Badan Intelijen Negara Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma supaya memimpin shalat tarawih pada bln Ramadhan bersama 11 raka’at. Sehingga sang qari’ membaca bersama beberapa ratus ayat, hingga kita bersandar terhadap tongkat karena sangat lamanya berdiri. Sehingga kami tak pulang dari tarawih, melainkan telah di ujung fajar.” [Fathul Bari, 4/250-254; Shalat At Tarawih, 11; Al ljabat Al Bahiyyah,15-18; Al Majmu’, 4/34]

3. Para sahabat Rasulullah, shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan dengan cara awza’an (berpencar-pencar). Orang yg sanggup membaca Al Qur’an ada yg mengimami 5 orang, ada yg 6 orang, ada yg lebih sedikit dari itu, dan ada yg lebih banyak. Az Zuhri bicara, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beberapa orang shalat tarawih secara ibarat itu. Selanjutnya pada animo Abu Bakar, caranya konsisten ibarat itu; demikian serta awal khalifah Umar.”

BERAPA RAKA’AT TARAWIH RASULULLAH SHALLALLAHU A’ALAIHI WA SALLAM ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih, terdiri dari sebelas raka’at (8 +3). Dalilnya sebagai berikut.

1. Hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma : ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman wacana qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab:

 إنَّهُ كَانَ لاَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ 

“Sesungguhnya ia tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. [HR Bukhari, Muslim]
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini memperlihatkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”

2. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan impian ia shalat dengan kami. Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka ia bersabda, “Sesungguhnya saya khawatir diwajibkan atas kalian. “[HR Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani. ShalatAt Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265]

3. Pengakuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wacana 8 raka’atdan 3 witir. Ubay bin Ka’ab tiba kepada Rasulullah, kemudian berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?” Ia menjawab,”Para perempuan di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8 raka’at dan witir. Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan apa-apa.”[HR Abu Ya’la, Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al Albani. Lihat Shalat At-Tarawih, 68]. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang shahih. [Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al Haditsiyah, 1.195: ShalatAt Tarawih, 19-21]

BERAPA RAKAAT TARAWIH SAHABAT DAN TABIIN PADA MASA UMA RA?

Ada beberapa riwayat shahih wacana bilangan raka’at shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar Radhiyallahu anhu . Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at, 21 raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah. Berikut keterangan pada masa Umar

1. Sebelas raka’at. Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, hingga makmum bersandar pada tongkat alasannya kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.

2. Tiga belas raka’at. Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf menyampaikan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang menyampaikan 11 raka’at. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.

3. Dua puluh raka’at (ditambah 1 atau 3 raka’at Witir). Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih). Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, alasannya terlalu usang berdiri.

Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Al Nawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain. Sementara itu Syaikh Al Albani menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’ (digabungkan). Maka ia menggunakan metode tarjih (memilih riwayat yang shahih dan meninggalkan yang lain).

Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabit (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid 11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini -menurut beliau-adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). [Al Majmu’, 4/32; Shalat At Tarawih, 46; Al Ijabat Al Bahiyyah. 16-18]

Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23raka’at. [HR Abdurrazzaq. Lihat At Tamhid 3/518-519]

Selanjutnya 23 raka’at diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, alasannya ia tidak menjumpai zaman Umar. Yazid Ibn Ruman ialah mawla (mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat tsabit (meninggal pada tahun 120 atau130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melaksanakan qiyam Ramadhan dengan bilangan 23 raka’at. [HR Malik, Al Firyabi, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Lihat Shalat At Tarawih,53; Al Ijabat Al Bahiyyah, 16; At Tamhid, 9/332, 519; Al Hawadits, 141]

BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?

Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:

1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at ialah shahih.
2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at ialah shahih.
3. Fakta sejarah berdasarkan penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut ialah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya ialah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.

BEBERAPA KESAKSIAN PELAKU SEJARAH

1. Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy, (budak yang dimerdekakan ole Quraisy) lahir pada masa Khilafah Utsman Radhiyallahu anhu (antara tahun 24 Hsampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas Radhiyallahu anhu, (wafat 67 / 68 H), Aisyah Radhiyallahu anuhma dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H) memperlihatkan kesaksian: “Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3raka’at witir.” [Fathul Bari, 4/235]

2. Imam Nafi’ Al Qurasyi,(mawla (mantan budak) Ibn Umar Radhiyallahu ahu (wafat 73 H), mufti Madinah yang mengambil ilmu dari Ibn Umar, Abu Said, Rail’ Ibn Khadij, Aisyah, Abu Hurairah dan Ummu Salamah, yang dikirim oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ke Mesir sebagai da’i dan meninggal di Madinah pada tahun 117 H) telah memperlihatkan kesaksian sebagai berikut: “Saya mendapati orang-orang (masyarakat Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3 raka’at.” [Al Hawadits, 141; Al Hawi, 1/415]

3. Daud Ibn Qais bersaksi, “Saya mendapati orang-orang di Madinah pada masa pemerintahan Aban Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid,wafat 101 H) melaksanakan qiyamulail (Ramadhan) sebanyak 36 raka’at ditambah 3 witir.” [Fathul Bari, 4/253]

4. Imam Malik Ibn Anas (wafat 179 H) yang menjadi murid Nafi’ berkomentar, “Apa yang diceritakan oleh Nafi’, itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu ada pada zaman Utsman Ibn Affan Radhiyallahu anhu.” [Al Hawadits, 141]

5. Imam Syafi’i, murid Imam Malik yang hidup antara tahun 150 hingga 204 H. mengatakan, “Saya menjumpai orang-orang di Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan saya melihat penduduk Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada persoalan sedikitpun wacana hal itu.” [Sunan Thmidzi, 151; Fath Al Aziz, 4/266; Fathul Bari, 4/23]

BEBERAPA PEMAHAMAN ULAMA DALAM MENGGABUNGKAN RIWAYAT-RIWAYAT SHAHIH DI ATAS 

1. Imam Syafi’i, setelah meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar, “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih saya sukai.” [Fathul Bari, 4/253]

2. Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya ialah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menyebabkan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.” [Fiqhus Sunnah, 1/174]

3.Al Kamal Ibnul Humam mengatakan,”Dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah ialah ibarat yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan sisanya ialah mustahab.” (Ibid, 1/175)

4.Al Subkhi berkata, “Tarawih ialah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin shalat sedikit atau banyak. Bolehjadi mereka terkadang menentukan bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11raka’at. Dan terkadang mereka menentukan bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’atdaripada bacaan panjang, kemudian amalan ini yang terus berjalan.” [Al Hawi,1/417]

5. Ibn Taimiyah berkata, “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Makara banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.” Beliau juga berkata,”Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat.

Jika mereka berpengaruh 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ramadhan dan di luar Ramadhan maka ini yang lebih utama. Kalau mereka berpengaruh 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, alasannya ia ialah pertengahan antara 10 dan 40. Dan jikalau ia shalat dengan 40 raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, dihentikan lebih dan dihentikan kurang, maka ia telah salah.” [Majmu’ Al Fatawa, 23/113; Al Ijabat Al Bahiyyah, 22; Faidh Al Rahim Al Kalman,132; Durus Ramadhan,48]

6.Al Tharthusi (451-520 H) berkata, Para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan balasan yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata,”Mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, alasannya bangkit usang ialah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak lagi berpengaruh menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan komplemen raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’atatau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj tadi.”

Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah (penyerangan terhadap Madinah oleh YazidIbn Mu’awiyyah) tahun 60 H maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian. Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya. Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, shalat 39 raka’at itu telah ada sejak zaman Khalifah Utsman Radhiyallahu anhu. Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan biar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at. Inilah yang dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). [Lihat Al Hawadits, 143-145]

7. Ada juga yang mengatakan, bahwa Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada dua sahabat, yaitu “Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma, biar shalat memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat tersebut hasilnya menentukan untuk shalat 21 atau 23 raka’at. [Durus Ramadhan, 47]

8. Al Hafidz Ibn Hajar berkata, “Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka.Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. [Fathul Bari, 4/253]

9. Imam Abdul Aziz Ibn Bazz mengatakan: “Diantara kasus yang terkadang samar bagi sebagian orang ialah shalat tarawih. Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih dihentikan kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih dihentikan lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua ialah persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil. Hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu ialah muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel).

Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang dihentikan dilanggar. Bahkan telah shahih dari Nabi, bahwa ia shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebihsedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya wacana sifat shalat malam,beliau menjelaskan: “dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang kau khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup shalat yang ia kerjakan.” [HR Bukhari Muslim]

Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat Radhiyallahu anhum pada masa Umar Radhiyallahu anhu di sebagian waktu shalat 23 raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar Radhiyallahu anhu dan para sahabat Radhiyallahu anhum pada zamannya. Dan sebagian salaf shalat tarawih 36 raka’at ditambah witir 3 raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at.

Semua itu dikisahkan dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya. Sebagaimana ia juga menyebutkan, bahwa persoalan ini ialah luas (tidak sempit). Beliau juga menyebutkan, bahwa yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’. sujud, ialah menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan bacaan, ruku’ dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini ialah makna ucapan beliau. Barangsiapa merenungkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia niscaya mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semuanya itu ialah 11 raka’at atau 13 raka’at. Di Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena hal itu yang sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebiasaannya. Juga alasannya lebih ringan bagi jama’ah. Lebih akrab kepada khusyu’ dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at), maka tidak mengapa dan tidak makruh,seperti yang telah lalu.”[Al Ijabat Al Bahiyyah, 17-18. Lihat juga Fatawa Lajnah Daimah, 7/194-198]

KESIMPULAN

Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:

1. Shalat tarawih merupakan belahan dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’ hingga sebelum fajar, dengan dua raka’at salam dua raka’at salam. Shalat tarawih mempunyai keutamaan yang sangat besar. Oleh alasannya itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya -dan para sahabat punmenjadikannya- sebagai syiar Ramadhan.

2. Shalat tarawih yang lebih utama sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik rahimahullah, “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialah shalat yang diperintahkan oleh Umar Radhiyallahu anhu, yaitu 11 raka’at, yaitu (cara) shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 ialah akrab dengan 13.” [Al Hawadits, 141]

3. Perbedaan tersebut bersifat variasi, lebih dari 11 raka’at ialah boleh, dan 23 raka’at lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, alasannya ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at.

4. Yang lebih penting lagi ialah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat ialah yang panjang bacaanya”

Demikian keutamaan sholat Tarawih berdasarkan hadits-hadits Shohih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Semoga Allah Ta’ala memperlihatkan Taufiq dan pertolongan-Nya kepada kita semua untuk sanggup istiqomah dalam melaksanakan sholat tarawih dan ibadah lainnya di bulan Romadhon dan di bulan-bulan setelahnya. Amiin. Begitu juga kami telah merangkum bacaan doa menyambut ramadhan, kata ucapan ramadhan dan masih banyak lago yang lainnya.