Dalil-Dalil Terkait Poligami Dalam Islam | Para Suami Wajib Tau

Poligami secara sederhana sanggup diartikan seorang lelaki yang mempunyai istri sah lebih dar Dalil-dalil Terkait POLIGAMI Dalam Islam | Para Suami WAJIB Tau
Ilustrasi : Lukisan Jari Terkait Poligami

Dalil-dalil Terkait Poligami Dalam Islam

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Dalil-dalil Terkait Poligami Dalam Islam
Poligami secara sederhana sanggup diartikan seorang lelaki yang mempunyai istri sah lebih dari satu orang. Poligami yaitu sistem perkawinan yang salah satu pihak mempunyai atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan. Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik ijab kabul kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya mempunyai satu suami atau istri. Syarat-syarat Poligami Dalam Islam]

DALIL-DALIL POLIGAMI DALAM ISLAM

Dalil Al-Qur’an

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu yaitu lebih akrab kepada tidak berbuat aniaya.” [QS. An-Nisaa’ : 3]

 

Sebab turunnya ayat 3 pada surah An-Nisaa’ di atas yaitu :

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Urwah bin az-Zubair, ia menuturkan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah (radhiyallahu ‘anha) ihwal firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, (وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى ) “Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kau mengawininya),” ia menjawab, ‘Wahai keponakanku, anak perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini bercampur dengan harta walinya. Rupanya, harta dan kecantikannya mengagumkan walinya, sehingga walinya berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam menawarkan mahar kepadanya sebagaimana yang diberikan kepada selainnya. Karena itu, mereka tidak boleh menikahi perempuan yatim itu, kecuali bila berlaku adil kepada mereka dan menawarkan kepada mereka mahar yang layak, serta mereka diperintahkan supaya menikahi wanita-wanita yang mereka senangi selain mereka (wanita-wanita yatim yang berada dalam perwaliannya).’”

‘Urwah bin Az-Zubair menuturkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah ayat ini (turun), kemudian turunlah firman Allah Ta’ala : (وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ) ‘Dan mereka meminta fatwa kepadamu ihwal para wanita…’ [QS. An-Nisaa’ : 127]. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga melanjutkan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat lain : (وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ) ‘Sedang kau ingin mengawini mereka… ‘ [QS. An-Nisaa’ : 127].
Karena salah seorang dari kalian tidak suka menikahi perempuan yatim yang menjadi perwaliannya jikalau hartanya sedikit dan kecantikannya kurang. Oleh alasannya yaitu itu, mereka tidak boleh menikahi perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali dengan adil, alasannya yaitu mereka tidak menyukai perempuan yatim jikalau hartanya sedikit dan kecantikannya kurang.”
[HR. Al-Bukhari no.2494, Muslim no.3018, an-Nasa’i no.3346, Abu Dawud no.2068]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Makna firman Allah: ( مَثْنَـى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ) ‘Dua, tiga atau empat.’ [QS. An-Nisaa’ : 127], yakni nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka; jikalau salah seorang dari kalian suka, silahkan menikah dengan dua perempuan dan jikalau suka, silahkan menikah dengan empat wanita.” [Tafsiir Ibnu Katsir I/598]

Al-Fakhrur Razi berkata, “Dibolehkan menikahi dua perempuan jikalau suka, tiga perempuan jikalau suka dan empat perempuan jikalau suka. Dibolehkan menikahi sejumlah ini bagi siapa yang suka. Jika dia takut tidak sanggup berbuat adil, cukuplah dengan dua orang wanita. Dan jikalau dia masih takut tidak sanggup berbuat adil di antara kedua-nya, maka cukupklah menikahi satu perempuan saja.”

Dalil-dalil Sunnah

Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan mempunyai 10 isteri, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Pilihlah empat orang dari mereka.” Ketika pada masa ‘Umar, dia menceraikan isteri-isterinya dan membagi-bagikan hartanya di antara anak-anak-nya. Ketika hal itu hingga kepada ‘Umar, maka dia mengatakan, “Sesungguhnya saya benar-benar mengira bahwa syaitan pada apa yang dicurinya dari langit telah mendengar kematianmu kemudian melontarkannya ke dalam hatimu, dan mungkin engkau hanya tinggal sebentar. Demi Allah, engkau benar-benar merujuk isteri-isterimu dan engkau menarik hartamu, atau saya benar-benar mengambilnya darimu dan saya memerintahkan supaya menguburkanmu untuk dirajam sebagaimana dirajamnya kubur Abu Raghal.” [HR. Ahmad no.4617, Ibnu Majah no.1953, At-Tirmidzi no.1128, Malik no.1071]

Abu Dawud meriwayatkan dari al-Harits bin Qais bin ‘Umairah al-Asadi, ia mengatakan, “Aku masuk Islam, sedangkan saya mempunyai delapan isteri. Lalu saya menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia bersabda, “Pilihlah empat di antara mereka.” [HR. Abu Dawud no.1914, Ibnu Majah no.1953. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir al-Qur’an I/599 : “Sanadnya bagus”]

Imam Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Musnadnya dari Naufal bin Mu’awiyah ad-Daili, ia mengatakan, “Aku masuk Islam, sedangkan saya mempunyai lima isteri, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Pilihlah empat, mana di antara mereka yang engkau sukai, dan ceraikanlah yang lainnya.’ Lalu saya mendatangi perempuan yang paling usang menjadi pendamping, yang sudah bau tanah lagi mandul, bersamaku semenjak 60 tahunan, kemudian saya menceraikannya.” [HR. Asy-Syafi’i dalam Musnadnya]

Adapun makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“… Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki…” [QS. An-Nisaa’ : 3].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni, jikalau kalian takut bila melaksanakan poligami tidak sanggup berbuat adil di antara mereka, maka cukupkanlah satu saja atau para hamba sahaya. Sebab pembagian jatah di antara mereka (hamba sahaya) tidaklah wajib, tetapi dianjurkan. Barangsiapa yang melakukannya, maka itu bernilai baik dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka tidak berdosa.” [Tafsiir Ibni Katsir (I/598)]

Sedangkan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kau sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, alasannya yaitu itu janganlah kau terlalu cenderung (kepada isteri yang kau cintai), sehingga kau biarkan yang lain terkatung-katung…” [QS. An-Nisaa’ : 129].

Para ulama mengatakan, “Mereka tidak akan sanggup berlaku adil di antara para isteri berkenaan dengan apa yang terdapat dalam hati dan Allah memaafkannya. Dan mewajibkan keadilan dalam perkataan dan perbuatan. Jika dia condong dengan suatu ucapan atau perbuatan, maka itulah kecenderungan (ketidakadilan).” [Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat, hal. 18]

Korelasi di antara kedua ayat tersebut diatas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan seorang lelaki menikahi empat orang wanita, dengan syarat wajib berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan. Adapun perlakuan adil dalam hal cinta di antara mereka (wanita), maka (sesungguhnya) kalian tidak akan bisa berbuat adil meskipun kalian sangat menginginkannya.

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jatah dan berbuat adil, kemudian dia shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

اَللَّهُمَّ، هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكَ.

“Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang saya miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan saya tidak memiliki.”

Adapun makna dari ucapan dia shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, bahwa dia tidak mempunyai apa yang ada dalam hatinya berupa cinta kepada sebagian isteri yang lebih daripada cintanya kepada sebagian yang lain. Sebab kasus hati yaitu milik Allah Ta’ala; Dia membolak-balikkannya sebagaimana yang Dia sukai.

Adapun dalam kasus jikalau tidak sanggup berbuat adil dalam menjatah giliran malam, atau berlaku adli dalam kasus harta dan selainnya, maka sebaiknya -bahkan seharusnya- dia mencukupkan satu perempuan saja untuk dijadikan istrinya. Jika tidak demikian, maka dia termasuk ke dalam golongan insan yang telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً.

“Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri kemudian cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia tiba pada hari Kiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.” [HR. At-Tirmidzi no.1141, an-Nasaai no.3942, Abu Dawud no.2133, Ibnu Majah no.1969, Ahmad no.9740, ad-Darimi no.2206]

At-Tirmidzi dalam kitab An-Nikaah mengatakan: “Aku tidak mengetahui hadits ini marfu’ kecuali dari hadits Hammam, dan Hammam yaitu perawi tsiqat dan hafizh.” Semua perawinya tsiqat (terpercaya).

Demikianlah bentuk-bentuk perlakuan adil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap isteri-isteri beliau.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian lainnya dalam hal menjatah untuk tinggal di sisi kami. Terkadang dia mengelilingi kami semua, kemudian dia mendekati setiap isterinya tanpa persetubuhan, hingga dia hingga kepada isterinya yang menerima giliran pada hari itu kemudian tinggal di sisinya.” [HR. Abu Dawud no.2135, Ahmad no.24244]

Jabir bin Zaid berkata, “Aku mempunyai dua isteri dan saya berlaku adil di antara keduanya hingga dalam kasus ciuman.”

Mujahid berkata, “Mereka menganjurkan supaya berbuat adil di antara para isteri hingga dalam kasus wewangian; ia menggunakan wewangian untuk yang ini sebagaimana menggunakan wewangian untuk yang lainnya.”

Ibnu Sirin berkata, “Makruh suami berwudhu’ di rumah salah seorang isterinya tetapi tidak melaksanakan hal yang sama di rumah isterinya yang lain.”

Abul Qasim berkata, “Cukuplah bagimu apa yang telah lewat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya mengenai hal ini. Aku tidak menerima kabar dari salah seorang di antara mereka bahwa dia menjatah (menggilir), kecuali sehari di sini dan sehari di sana.”

Ibnu Qudamah berkata, “Seseorang membagi di antara isteri-isterinya satu malam satu malam. Sedangkan pada siang harinya untuk mata pencahariannya dan menuntaskan hak-hak orang lain, kecuali bila mata pencahariannya pada malam hari, menyerupai penjaga, maka dia menggilirnya pada siang hari, dan malamnya menyerupai siang harinya.”

Wallahu a’lam bishshawab

Demikianlah risalah ihwal “Dalil-dalil Terkait Poligami Dalam Islam”, semoga sanggup bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita ihwal poligami sebelum tetapkan untuk melaksanakannya. Oleh alasannya yaitu sebetulnya keadlian yang haq ada pada sisi-Nya saja.

 

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
____
Label : Fiqih, Poligami, dalil poligami, Keluarga
Deskripsi : Dalam sebuah keluarga terkadang terjadi sebuah kesalahfahaman akhir kekurangfahaman suami dan juga istri dalam duduk kasus keluarga yang disyariatkan dalam pedoman islam. Poligami seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang buruk, merusak rumah tangga, dan menelantarkan anak-anak. Pemahaman ini akan kita tinjau dari dalil-dalil dasar yang terkait dengan poligami dari sudut pandang islam, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

INFO UPDATE